i era globalisasi ini, kita banyak menyaksikan pemimpin yang berperilaku sewenang-wenang, pemimpin yang doyan korupsi, pemimpin yang hobi perang, pemimpin yang gila jabatan, dan perilaku negatif lainnya. Sebagai contoh, mari kita cermati bagaimana perilaku buruk yang dipertontonkan mantan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush. Sosok pemimpin bertangan besi, suka perang. Irak hancur lebur karena ambisi politiknya yang kejam.
Mari kita palingkan sejenak pikiran kita ke masa lalu. Perhatikan bagaimana Stalin, si raja tega dari Rusia. Ia halalkan segala cara hingga jutaan nyawa melayang di seluruh di dunia, hanya karena ambisinya untuk menegakkan panji-panji ideologi komunisme. Lihat pula bagaimana Hitler dengan Nazinya di Jerman. Kuku-kuku tajamnya menghancurleburkan ribuan umat Yahudi di Jerman. Sungguh kejam Stalin. Sungguh biadab Hitler.
Mari kita tengok juga pemimpin-pemimpin kita di tanah air Indonesia. Hampir setiap hari, kita disuguhi berita-berita yang mengiris-ngiris hati nurani kita. Bayangkan, banyak pemimpin kita, mulai dari bupati, gubernur, mantan menteri, politisi, dan lainnya, yang dijebloskan ke penjara, karena perilaku mereka yang bejat, seperti korupsi yang mereka lakukan hingga merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah. Pada saat yang bersamaan, rakyat Indonesialah yang menanggung deritanya. Sungguh biadab pemimpin-pemimpin itu. Mereka gelap mata. Hati nurani meraka sudah tertutup rapat.
Ada beberapa hal yang menyebabkan pemimpin-pemimpin di atas terperosok pada lubang kegelapan dan melakukan berbagai tindakan tidak bermoral itu. Pertama, mereka tidak memahami bahwa kepemimpinan itu sesungguhnya adalah amanah dari Tuhan. Karena itu, kepemimpinan—apa pun bentuknya—mesti harus senantiasa berpijak dan berjalan di atas norma-norma yang telah digariskan oleh Tuhan.
Kedua, mereka hanya melihat kepemimpinan sebagai cara terbaik dan tercepat untuk mencapai kekuasaan. Padahal, sebagai pemimpin seharusnya memahami bahwa pemimpin tugasnya adalah melayani rakyat, bukan semata mencapai kekuasaan. Dalam pepatah Arab disebutkan bahwa pemimpin suatu kaum sesungguhnya adalah pelayan mereka (Sayyidul qaumi khodimuhum). Ketiga, mereka hanya menjadikan jabatan sebagai ajang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini terlihat dari banyaknya pemimpin kita yang dijebloskan ke penjara karena mereka melakukan tindak korupsi. Naudzubillah!
Lantas, bagaimana seharusnya pemimpin itu bersikap? Di sinilah pentingnya akhlak karimah. Akhlak yang muliah harus menjadi landasan utama, apabila seorang pemimpin ingin meraih sukses dalam kepemimpinannya, tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat kelak. Pemimpin yang berakhlak mulia selalu menyelaraskan antara perbuatan yang dilakukan dengan perkataan yang diucapkan. Antara yang terucap dalam lisannya dengan yang terdetik di dalam hatinya.
Akhlak mulia inilah yang sesungguhnya menjadi misi utama diutusnya Rasulullah, Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ”Innama buitstu liutammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya saya diutus, tak lain hanya untuk menyempurnakan akhlak).
Hanya dengan akhlak mulia itu, derajat seorang pemimpin akan menjadi tinggi. Ia akan dihargai oleh rakyatnya. Perintah-perintahnya akan ditaati. Pemimpin yang berakhlak mulia akan melahirkan tatanan masyarakat yang adil, amin, damai, tentram, dan sejahtera. (dimuat di Majalah Qalam, Ed. 4, Juli 2009)
- 3 Agustus 2009
Sumber :
Rafsanjani, santri kelas I Intensif TMI Putra Al-Amien Prenduan asal Aceh
http://al-amien.ac.id/2009/08/03/akhlak-masalah-pemimpin-saat-ini/
24 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar