Rabu, 23 September 2009

Kepemimpinan 'Metanoiac', Model Pembangkit Kesadaran Umat

Dunia Kita : Antara Fakta dan Idealita

Dunia saat ini dicengkeram oleh ideologi kapitalisme yang berasaskan ide sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekulerisme oleh Muhammad Qutb (1986) dalam bukunya Ancaman Sekulerisme, diartikan sebagaiiqomatu al hayati ‘ala ghayri asasin mina al-dini, yakni membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam). Sementara, Syekh Taqiyyudin An Nabhani (1953) dalam kitabnya Nizhamul Islam, menjelaskan sekulerisme sebagai fashluddin anil hayah, yaitu memisahkan agama (Islam) dari kehidupan.

Walhasil, seluruh aspek kehidupan terwarnai dan terpola oleh ideologi asing tersebut. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Di bidang ekonomi berkembang ekonomi kapitalistik. Di bidang politik, berkembang perilaku politik oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, serta sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik. Begitu pun dengan dunia pendidikan, sekularisme tidak memberikan ruang yang cukup bagi agama, sebab agama bukanlah sesuatu yang penting dalam kehidupan. Walhasil, alumnus sistem pendidikan ini akan menjadi manusia yang sekuleristik, materialistik, oportunistik, dan individualistik.

Nyatalah, umat telah tumbuh dan berkembang dalam pola salah asuhan ideologi. Akibatnya, umat jatuh sakit dalam derita yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, yakni krisis multidimensi. Sebuah penyakit yang hanya bisa disembuhkan secara total hanya dengan satu obat, yakni kembali ke dalam Islam secara menyeluruh, tidak lagi sekular (QS. Al Baqarah : 208).

Dari sinilah dapat dimengerti bahwa kebangkitan umat untuk kembali ke haribaan Islam sangat membutuhkan sebuah kepemimpinan yang ‘metanoiac’. Apa dan bagaimana sebenarnya pola kepemimpinan ini? Lalu bagaimana dengan trend pengembangan model kepemimpinan dunia era kekinian, apakah juga mengerucut pada model kepemimpinan ini? Jawabannya dipaparkan berikut ini.


Tren Perkembangan Model Kepemimpinan

Stodgill (1974) telah lama menyimpulkan bahwa ada banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada memiliki sejumlah unsur yang sama. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil-hasil studi mengenai leadership skills yang berkembang sejak tahun 1900-an. Paling tidak terdapat lima model kepemimpinan yang telah dikembangkan dalam studi-studi tersebut sebagaimana yang dirangkum oleh Daryanto dan Daryanto (1999).

Pertama, Traits Model of Leadership (1900-1950-an) yang lebih banyak meneliti tentang watak individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti kecerdasan, kejujuran, kematangan, ketegasan, status sosial dan lain-lainnya.

Kedua, Model of Situational Leadership (1970-an-1980-an) yang lebih fokus pada faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan.

Ketiga, Model of Effective Leaders (1960-an-1980-an). Model ini mendukung asumsi bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang mampu menangani aspek organisasi dan manusianya sekaligus.

Keempat, Contingency Model (1960-an–1980-an). Sekalipun dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

Kelima, Model of Transformational Leadership (1970-an–1990-an). Sekalipun relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan, model ini dinilai lebih mampu menangkap fenomena kepemimpinan dibanding model-model sebelumnya. Bahkan banyak peneliti dan praktisi manajemen sepakat bahwa model ini merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin. Konsep ini pun dinilai telah mengintegrasikan dan sekaligus menyempurnakan ide-ide yang dikembangkan dalam model-model sebelumnya.

Dari kelima model di atas, diperoleh kesimpulan bahwa model kepemimpinan yang dinilai paling ideal adalah model kepemimpinan transformasional. Model ini dinilai mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktivitas dan inovasi guna meningkatkan daya saing organisasi dalam dunia yang makin kompetitif.

Sarros dan Butchatsky (1996) menyebut model kepemimpinan transformasional sebagai model kepemimpinan penerobos (breakthrough leadership). Disebut penerobos, karena pemimpin dengan tipe ini memiliki kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi; memulai proses penciptaan inovasi; meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin mampu membawa perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan pengikut karena memiliki pemikiran ‘metanoiac’ (meta = perubahan, nous/noos = pikiran; Yunani).

Kepemimpinan ‘Metanoiac’

Selain Sarros dan Butchatsky (1996), terdapat sejumlah ahli manajemen lainnya juga memberikan apresiasi yang sama terhadap model kepemimpinan transformasional atau ‘metanoiac’ ini. Tercatat seperti Hater dan Bass (1988), Yammarino dan Bass (1990), Tichy dan Devana (1990), Bass dan Avolio (1994) serta Bryman (1992). Dari pendapat ahli-ahli tersebut, utamanya dari Bass dan Avolio (1994) diketahui bahwa idealnya model kepemimpinan ini dikarenakan model ini memiliki empat dimensi kepemimpinan yang disebut sebagai ‘the four I’s’ atau Empat I berikut.

  1. Idealized Influence (pengaruh ideal). Pemimpin memiliki perilaku yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.

  2. Inspirational Motivation (motivasi inspirasi). Pemimpin mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan/pengikut, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi dan mampu menggugah spirit tim melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.

  3. Intellectual Stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan/pengikut, memberikan motivasi pada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.

  4. Individualized Consideration (konsiderasi individu). Pemimpin mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan/pengikut serta secara khusus mau memperhatikan kebutuhan bawahan/pengikut akan pengembangan karir.

Sekalipun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, namun beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi tersebut (Daryanto dan Daryanto, 1999).

Menuju Kepemimpinan ‘Metanoiac’

Untuk dapat merengkuh empat dimensi kepemimpinan ‘metanoiac’, seseorang disyaratkan untuk memiliki sejumlah syarat penting berikut. Dari Kotter (1997) dan juga Covey (2000), setidaknya dapat disarikan tujuh syarat penting yang dimaksud : (1) Worldview, (2) Nilai-nilai Pribadi, (3) Motivasi, (4) Dimilikinya pengetahuan mengenai ‘industri’ dan organisasi, (5) Dimilikinya relasi yang kuat dalam ‘industri’ dan organisasi, (6) Dimilikinya kemampuan/keahlian kepemimpinan, seperti manajemen, keorganisasian, komunikasi, pengambilan keputusan, dan kemampuan penunjang lainnya, (7) Dimilikinya reputasi dan catatan rekor.

Worldview atau paradigma adalah cara pandang seseorang dalam melihat (mempersepsi, mengerti, menafsirkan) dunia. Dalam bahasa yang lain dapat disebut juga sebagai mafahim ‘ani al-insan, wa al-kaun, wa al-hayat atau cara pandang yang didasarkan pemahaman akan hakikat keberadaan manusia, alam semesta dan kehidupan. Cara pandang ini menentukan sikap atau perilaku dan perasaan. Ketika melihat dengan cara yang berbeda, maka akan berfikir dengan cara berbeda, merasa dengan cara yang berbeda dan berperilaku dengan cara yang berbeda pula. Cara kita melihat masalah berpusat pada prinsip, sesuatu yang sangat mendasar. Sedemikian pentingnya sebuah worldview bagi kehidupan seseorang, menjadikannya sebagai syarat pertama yang akan mendasari syarat-syarat berikutnya. Worldview akan mempengaruhi kandungan dan arah nilai-nilai pribadi dan motivasi. Worldview juga akan mendasari bagaimana seseorang menyikapi keberadaan organisasi dan ‘industri’ yang dimasukinya, menuntunnya menjalin relasi di dalamnya. Worldview akan membangkitkan semangat dan energi yang luar biasa untuk belajar dan menguasai sejumlah keahlian yang dibutuhkan, seperti manajemen, keorganisasian, komunikasi, teknik pengambilan keputusan dan sejumlah keahlian penunjang lainnya. Terakhir,Worldview akan menuntun seseorang untuk selalu menjaga reputasi dan catatan rekornya agar sesuai dengan prinsip yang diyakininya.

Bila roadmap tren perkembangan model kepemimpinan dunia mengerucut ke model kepemimpinan transformasional/’metanoiac’, lalu bagaimana dengan model kepemimpinan yang tepat untuk membangkitkan kesadaran umat ?

Sebagaimana telah diungkap di muka bahwa problematika yang dihadapi umat ternyata lahir dari sebuahworldview yang nyata-nyata salah yaitu sekulerisme, maka tidak ada jalan lain bagi setiap individu dan organisasi yang ingin membangkitkan kembali umat Islam, kecuali hanya dengan menggunakan kembali worldview yang sesungguhnya, yakni Islam secara kaffah.

Bila worldview Islam yang digunakan secara konsisten, maka akan lahir sosok individu yang akan menjalankan kepemimpinan ‘metanoiac’ Islam. Worldview Islam inilah yang akan menjadi arahan dan rujukan bagi implementasi kepemimpinan ‘metanoiac’ atas diri sendiri dan komunitas (peraga 1). Pada ranah individu, ia akan memimpin pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) pribadi agar pemenuhan dan penyaluran hajatu al udhawiyah dan gharizah– nya senantiasa sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kepada sang Khaliq (peraga 2). Pada ranah komunitas, baik berupa organisasi maupun masyarakat, individu pemimpin akan melakukan pengerahan dan pemberdayaan segenap komponen komunitas agar secara bersama-sama dapat mencapai tujuan yang ditetapkan dimana interaksi antar individunya berada dalam koridor ide, perasaan dan aturan yang sama yang berasal dari al Kholiq. Interaksi ini mewujudkan filosofi TEAM, yakni Together Everyone Achieve More(peraga 3).

Wallahu a’lam bishawwab.

Penulis adalah konsultan manajemen syariah serta trainer manajemen dan motivasi. Sehari-hari Direktur Konsultasi dan Pelatihan SEM Institute Jakarta. Juga menulis buku-buku motivasi dan manajemen berbasis perspektif syariah, seperti Be The Best, not ‘be asa’ (Gema Insani, 2007, cetakan ke-3) Pengantar Manajemen Syariah (Khairul Bayan, 2002), Menggagas Bisnis Islami (GIP, cetakan kelima, 2002), Manajemen Strategis Perspektif Syariah (Khairul Bayan, 2003).

Email : muh_kar @yahoo.com

- 13 Mei 2008


Sumber :

Muhammad Karebet Widjayakusumah

http://www.tokoislamonline.com/article_info.php?articles_id=7&osCsid=da8df21885c11d9b8dfd762b539553a1


Tidak ada komentar:

Posting Komentar